Senin, 06 September 2010

Rahasia Keluarga Raja Tut

Bagiku, kisah Tutankhamun ibarat sebuah drama yang bagian akhirnya masih sedang digubah. Adegan pertama drama itu dimulai sekitar tahun 1390 SM, beberapa dasawarsa sebelum kelahiran Tutankhamun, ketika firaun agung Amenhotep III naik takhta di Mesir. Memerintah kerajaan yang membentang 1.900 kilometer dari Sungai Eufrat di utara sampai Katarak Keempat (rangkaian air terjun besar) Sungai Nil di selatan, raja dinasti ke-18 ini tak terperikan kekayaannya. Bersama ratunya yang digdaya, Ratu Tiye, Amenhotep III memerintah selama 37 tahun, menyembah para dewa yang disembah nenek moyangnya, terutama Dewa Amun, sementara rakyatnya hidup makmur dan kekayaan yang luar biasa mengalir deras ke kas kerajaan, berasal dari wilayah asing yang berada di bawah kekuasaan Mesir.

Babak I berkisah tentang tradisi dan kemapanan, sementara Babak II tentang pemberontakan. Ketika Amenhotep III wafat, dia digantikan oleh putranya yang kedua, Amenhotep IV—seorang visioner aneh yang memalingkan muka dari Amun dan para dewa lain dari panteon negara, dan justru memuja dewa tunggal yang dikenal sebagai Aten, sang cakram matahari. Pada tahun ke lima pemerintahannya, dia mengubah namanya menjadi Akhenaten—"ia yang bermanfaat bagi Aten." Dia meningkatkan dirinya meraih status sebagai dewa hidup dan meninggalkan ibukota agama tradisional di Thebes, membangun sebuah kota seremonial besar yang berjarak 290 kilometer ke arah utara, di sebuah tempat yang sekarang bernama Amarna. Di sini dia tinggal bersama istrinya yang hebat, Nefertiti yang jelita, dan bersama-sama mereka berperan sebagai imam agung yang mewakili Aten, dibantu menjalankan tugas oleh keenam putri mereka yang tercinta. Semua kekuasaan dan kekayaan dilucuti dari keimaman Amun, dan Aten pun berkuasa penuh. Kesenian pada periode ini juga dirasuki oleh naturalisme baru yang revolusioner; firaun tidak digambarkan dengan wajah gagah dan muda, serta tubuh kekar seperti firaun terdahulu, tetapi sebagai sosok banci yang aneh, berperut gendut dan berbibir tebal, serta berwajah memanjang.

Akhir pemerintahan Akhenaten tidak terungkap dengan jelas—sebuah adegan berlangsung di balik tirai tertutup. Satu atau mungkin dua orang raja memerintah dalam waktu singkat, baik bersama-sama Akhenaten, setelah kematiannya, atau sebelum dan sesudah kematian Akhenaten. Seperti ahli sejarah Mesir kuno lainnya, aku yakin bahwa "raja" yang pertama adalah Nefertiti. Raja yang kedua adalah sosok misterius bernama Smenkhkare, yang boleh dikatakan sama sekali tidak kita kenal. Yang secara pasti kita ketahui adalah bahwa ketika tirai itu terbuka pada Babak III, takhta sudah diduduki oleh seorang anak lelaki: Tutankhaten ("penjelmaan Dewa Aten") yang berusia sembilan tahun. Dalam dua tahun pertama masa pemerintahannya sebagai firaun, dia dan istrinya, Ankhesenpaaten (putri Akhenaten dan Nefertiti), meninggalkan Amarna dan kembali ke Thebes, membuka kembali semua kuil dan memulihkan kekayaan dan kemuliaan kuil-kuil itu. Mereka mengubah nama menjadi Tutankhamun dan Ankhesenamun, mengumumkan penolakan mereka terhadap ajaran sesat Akhenaten dan pengabdian baru mereka untuk memuja Amun.

Kemudian, tirai tertutup lagi. Sepuluh tahun setelah naik takhta, Tutankhamun wafat, tanpa meninggalkan ahli waris untuk menggantikannya. Dengan tergesa-gesa, dia dimakamkan di sebuah makam kecil, yang semula dirancang untuk orang awam, bukan untuk seorang raja. Sebagai reaksi terhadap pandangan Akhenaten yang dianggap murtad, para penerusnya berhasil menghapus hampir semua jejak raja-raja Amarna, termasuk Tutankhamun, dari sejarah. Bagiku, kisah Tutankhamun ibarat sebuah drama yang bagian akhirnya masih sedang digubah. Adegan pertama drama itu dimulai sekitar tahun 1390 SM, beberapa dasawarsa sebelum kelahiran Tutankhamun, ketika firaun agung Amenhotep III naik takhta di Mesir. Memerintah kerajaan yang membentang 1.900 kilometer dari Sungai Eufrat di utara sampai Katarak Keempat (rangkaian air terjun besar) Sungai Nil di selatan, raja dinasti ke-18 ini tak terperikan kekayaannya. Bersama ratunya yang digdaya, Ratu Tiye, Amenhotep III memerintah selama 37 tahun, menyembah para dewa yang disembah nenek moyangnya, terutama Dewa Amun, sementara rakyatnya hidup makmur dan kekayaan yang luar biasa mengalir deras ke kas kerajaan, berasal dari wilayah asing yang berada di bawah kekuasaan Mesir.Babak I berkisah tentang tradisi dan kemapanan, sementara Babak II tentang pemberontakan. Ketika Amenhotep III wafat, dia digantikan oleh putranya yang kedua, Amenhotep IV—seorang visioner aneh yang memalingkan muka dari Amun dan para dewa lain dari panteon negara, dan justru memuja dewa tunggal yang dikenal sebagai Aten, sang cakram matahari. Pada tahun ke lima pemerintahannya, dia mengubah namanya menjadi Akhenaten—"ia yang bermanfaat bagi Aten." Dia meningkatkan dirinya meraih status sebagai dewa hidup dan meninggalkan ibukota agama tradisional di Thebes, membangun sebuah kota seremonial besar yang berjarak 290 kilometer ke arah utara, di sebuah tempat yang sekarang bernama Amarna. Di sini dia tinggal bersama istrinya yang hebat, Nefertiti yang jelita, dan bersama-sama mereka berperan sebagai imam agung yang mewakili Aten, dibantu menjalankan tugas oleh keenam putri mereka yang tercinta. Semua kekuasaan dan kekayaan dilucuti dari keimaman Amun, dan Aten pun berkuasa penuh. Kesenian pada periode ini juga dirasuki oleh naturalisme baru yang revolusioner; firaun tidak digambarkan dengan wajah gagah dan muda, serta tubuh kekar seperti firaun terdahulu, tetapi sebagai sosok banci yang aneh, berperut gendut dan berbibir tebal, serta berwajah memanjang.Akhir pemerintahan Akhenaten tidak terungkap dengan jelas—sebuah adegan berlangsung di balik tirai tertutup. Satu atau mungkin dua orang raja memerintah dalam waktu singkat, baik bersama-sama Akhenaten, setelah kematiannya, atau sebelum dan sesudah kematian Akhenaten. Seperti ahli sejarah Mesir kuno lainnya, aku yakin bahwa "raja" yang pertama adalah Nefertiti. Raja yang kedua adalah sosok misterius bernama Smenkhkare, yang boleh dikatakan sama sekali tidak kita kenal. Yang secara pasti kita ketahui adalah bahwa ketika tirai itu terbuka pada Babak III, takhta sudah diduduki oleh seorang anak lelaki: Tutankhaten ("penjelmaan Dewa Aten") yang berusia sembilan tahun. Dalam dua tahun pertama masa pemerintahannya sebagai firaun, dia dan istrinya, Ankhesenpaaten (putri Akhenaten dan Nefertiti), meninggalkan Amarna dan kembali ke Thebes, membuka kembali semua kuil dan memulihkan kekayaan dan kemuliaan kuil-kuil itu. Mereka mengubah nama menjadi Tutankhamun dan Ankhesenamun, mengumumkan penolakan mereka terhadap ajaran sesat Akhenaten dan pengabdian baru mereka untuk memuja Amun.Kemudian, tirai tertutup lagi. Sepuluh tahun setelah naik takhta, Tutankhamun wafat, tanpa meninggalkan ahli waris untuk menggantikannya. Dengan tergesa-gesa, dia dimakamkan di sebuah makam kecil, yang semula dirancang untuk orang awam, bukan untuk seorang raja. Sebagai reaksi terhadap pandangan Akhenaten yang dianggap murtad, para penerusnya berhasil menghapus hampir semua jejak raja-raja Amarna, termasuk Tutankhamun, dari sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar